TEORI
PSIKOANALISA
Apa Itu Teori Psikoanalisa ?
Teori psikoanalisa merupakan satu dari sekian banyak teori yang dapat dijadikan
alat bantu untuk menelisik disorientasi dan masalah kepribadian seperti
lesbianisme. Keywords dalam teori ini adalah
kegagalan (failure), lingkungan (environment), dan
kepribadian (personality). Dalam teori ini, kegagalan lingkungan
dalam membentuk pribadi yang “normal” dipandang sebagai troublemaker.
Seseorang mengalami disorientasi bahkan sampai berperilaku di luar yang
semestinya merupakan produk dari kegagalan lingkungannya.
Konsepsi Pembangun Teori
Komponen-komponen Kepribadian
Dalam menjelaskan fenomena psikologis yang bersifat abstrak, teori psikoanalisa
memiliki variabel-variabel pembantu guna mempermudah seseorang dalam memahami
kepribadian. Variabel pembantu itu tak lain adalah komponen pembangun
kepribadian itu sendiri yang terdiri atas id, ego, dan superego, yang mana ketiga komponen tersebut saling
berkaitan satu sama lain.
Id (das Es)
Id merupakan
komponen dasar dalam sebuah kepribadian, yang di dalamnya terdapat naluri
alamiah manusia (Koeswara, 1986). Idbertindak sebagai supplier energi
bagi psikis seseorang. Jika terjadi penumpukan energi, maka akan terjadi
ketegangan-ketegangan. Sebagai reduktor tegangan, Id bekerja dengan prinsip kesenangan
(Koeswara, 1986).
Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, id memiliki
dua proses. Proses yang pertama adalah proses tak sadar, yakni tindakan yang
bersifat otomatis dan tak dapat dikendalikan seperti bersin, batuk, dll. Proses
yang kedua disebut dengan proses primer, yaitu sebuah gerakan yang melibatkan
reaksi psikologis yang kompleks (Koeswara, 1986). Prinsip proses primer ini
pada dasarnya adalah dengan menghayalkan sesuatu, contohnya orang yang haus
akan membayangkan minuman. Namun tentu saja untuk memenuhi kebutuhan akan
pelepas
dahaga,
seseorang tidak mungkin meminum minuman imajinernya. Hal ini nantinya akan
melahirkan komponen kepribadian yang bernama ego.
Ego
Ego merupakan komponen kepribadian yang
berperan sebagai penghubung antara id dan
realita. Prinsip kerja ego adalah
aksi, bukan imajinasi layaknya id. Jika dianalogikan dengan konsep orang haus tadi,
maka ego yang berorientasi pada realita akan
memandu seseorang untuk mencari, menemukan, dan akhirnya meminum air sebagai
pelepas dahaga (Koeswara, 1986).
Superego (das Ueberich)
Id dan ego saja
tidaklah cukup untuk membentuk kepribadian manusia secara sempurna, maka dari
itu superego memainkan peran untuk menyempurnakan
kepribadian. Superego merupakan
komponen kepribadian yang bersifat evaluatif atau menyangkut pada hal
baik-buruk (Koeswara, 1986). Prinsip kerja dari superego adalah menyelaraskan prilaku yang
dilakukan ego dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Cara ampuh superego dalam
menyegel dan menyelaraskan kedua komponen sebelumnya adalah dengan memberikan
rasa bersalah ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak berkesesuaian
dengan norma (Koeswara, 1986). Jika dianalogikan dengan konsep orang kehausan
tadi, maka superego adalah
tata cara minum yang baik dan benar yakni dengan menggunakan gelas atau
cangkir. Jika orang tadi tidak minum dengan cara yang seharusnya, maka orang
tersebut akan dilanda rasa bersalah. Dengan demikian kedua komponen – yang
dalam prinsip kerjanya hanya mengutamakan pemenuhan kebutuhan dan
menomorakhirkan kesesuaiannya dengan norma dan nilai yang semestinya – dapat
diselaraskan dengan superego, sehingga pemenuhan terhadap kebutuhan
tersebut tetap right on track .
Melihat ekspanalasi tentang betapa pentingnya superego di atas, sekiranya perlu diketahui
bahwa komponen yang super penting ini tidak built-in dalam
diri manusia begitu saja, melainkan terbentuk dari nilai-nilai yang senantiasa
ditanamkan oleh lingkungan sekitar. Dalam ruang lingkup keluarga, orang tua-
selaku penanam nilai dan norma yang pertama dan utama – berperan vital
dalam pembentukansuperego. Sehingga keberhasilan
kinerja superego berbanding
lurus dengan keberhasilan orang tua dalam menanamkan nilai-nilai yang baik
kepada buah hatinya.
Agar anak dapat menyerap dan mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan secara
optimal, maka diterapkanlah teknik perkuatan (reinforcement).
Teknik reinforcement ini berupa sistem reward-punishment di mana seorang anak yang berperilaku
baik akan mendapat hadiah (reward), begitu juga
ketika anak bandel dan berperilaku tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
diajarkan maka ia akan mendapatkan hukuman (punishment)
(Koeswara, 1986).
Konsep-konsep Teori Psikoanalisa
Pemaparan mengenai id, ego, dan superego yang
disajikan di atas bukanlah tanpa tujuan. Setelah mengetahui bagaimana prinsip
kerja dan relasi antarkomponen kepribadian di atas, diharapkan telah memberikan
titik terang dalam menilik 3 konsepsi utama dalam teori psikoanalisa yang akan
diulas pada sub paper ini.
Konsepsi awal pembangun teori ini adalah konsep plastisitas naluri. Freud
menyatakan bahwa seiring dengan kematangan fisik pada individu, akan muncul
naluri-naluri baru (Koeswara, 1986). Begitu juga dengan objek pemenuh naluri
yang juga dapat berkembang secara variatif.
Keanekaragaman dari
objek tersebut memungkinkan pengaliharahan pemenuhan. Jika suatu objek tak
dapat diperoleh, maka dapat digunakan objek lain sebagai pengganti objek
tersebut (Koeswara, 1986). Misalnya seseorang yang haus namun tak menemukan
objek pemenuh kebutuhan dalam bentuk air putih, ia dapat meminum minuman selain
air putih seperti teh, kopi, atau susu guna melepas dahaganya. Pelencengan ini
umumnya masih dalam batas kewajaran. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa
pelencengan ini memiliki probabilitas untuk out of the track jikalau superego tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Konsepsi berikutnya yang membangun teori ini adalah
malfungsi superego. Superego yang
perannya begitu vital tidak berfungsi sebagaimana mestinya disinyalir berakar
pangkal pada ketidakmampuan atau penggunaan cara yang salah oleh lingkungan
dalam menanamkan nilai-nilai yang luhur. Dalam menilik masalah disorientasi dan
penyimpangan prilaku seksual pada lesbian, pengaruh lingkungan sosial –
terutama pengaruh keluarga dan lingkungan yang paling sering berinteraksi
dengan lesbian- adalah suspect utama.
Gabungan dari kedua konsepsi di atas akan melahirkan eksplanasi yang logis
mengenai sebab-musabab seseorang menjadi lesbian. Jika seorang wanita
membutuhkan afeksi dari seorang lawan jenisnya namun ia tak dapat menemui pria
tersebut ataupun sang wanita memiliki trauma yang mendalam dikarenakan
kekejaman yang dilakukan pria sehingga ia mengeneralisir bahwa semua pria itu
jahat.
Jika dihubungkan dengan konsep plastisitas naluri, wanita yang membutuhkan
kasih sayang dari pria namun tak memperolehnya, akan mencari sumber kasih
sayang dari sesama jenisnya. Menjadi lesbian sebenarnya adalah sebuah kebutuhan
seksual yang menuntut untuk dipenuhi. Prilaku ini sejatinya bukanlah keinginan
sang pelakon lesbianisme melainkan tuntutan hasrat (Sulandari, 2009). Hal
ini sebenarnya dapat diluruskan jikalau superego yang
tertanam di dalam diri wanita tersebut bekerja secara optimal, namun sayangnya
tidak demikian. Sehingga plastisitas / pengaliharahan pemenuhan kebutuhan yang
tadinya di dalam batas kewajaran akan keluar dari track-nya .
Tokoh-Tokoh Teori
Psikoanalisa
Teori ini merupakan masterpiece dari seorang Sigmund Freud. Teori
psikoanalisa ini dapat mensimplifikasi hal-hal yang berkenaan dengan kejiwaan.
Tokoh-tokoh yang masih setia mengimplementasikan dan melestarikan teori
psikoanalisa ini adalah Alfred Adler, Carl Gustav Jung, Ernest Jones, Abraham
Arden Brill, Otto Rank, Sandor Ferenzci, dan Hans Sachs (Koeswara, 1986). Namun
Adler dan Jung, pada kemudian hari memilih jalannya sendiri dalam memahami
kepribadian. Sepeninggal Freud, teori ini terus digunakan dan masih dianggap
relevan dalam dunia psikologi.
Contoh Kasus dan Implementasi Teori
Agar dapat membuktikan bekerjanya teori ini secara kongkret, maka teori
psikoanalisa beserta konsep-konsepnya ini akan dipadupadankan dengan kisah
hidup seorang lesbian. Topik tentang lesbianisme ini dianggap menarik oleh
peneliti dikarenakan faktor penyebabnya yang sampai saat ini masih belum
menemui kepastian. Meskipun demikian, research mengenai
sebab-musabab lesbianisme mengindikasikan bahwa ada kegagalan pembentukan
kepribadian “normal”. Hal inilah yang menjadi motif peneliti dalam menggunakan
teori psikoanalisa ini. Fenomena yang berkaitan dengan psikologi dan personality ini diharapakan dapat dibedah melaui
teori yang berkenaan dengan psikologi dan personality pula.
Kisah nyata ini diambil dari buku Membongkar Seksualitas Perempuan yang Terpendam. Kisah
ini bersentral pada kisah hidup seorang lesbian bernama Putri. Ayahnya
berprofesi sebagai pelaut yang menghabiskan banyak waktunya untuk mengarungi
lautan dan terkadang singgah di negara tertentu dalam kurun waktu yang lama
(Wieringa, 2007). Alhasil, frekuensi Putri untuk bertemu ayahnya sangatlah
rendah, hanya setahun sekali. Sehingga sang ibu mengambil komando dalam
membesarkan Putri.
Dalam membesarkan sang buah hati, sang ibu tidak mengarahkan putrinya untuk
berperilaku feminim seperti perempuan pada umumnya. Semasa kecil, Putri
dibebaskan untuk memilih mainan apa saja. Secara kebetulan, Putri memilih
mainan laki-laki seperti pistol-pistolan, pedang-pedangan, dan mainan anak
laki-laki lainnya (Wieringa, 2007).
Kenyataan di atas telah menunjukkan bahwa lingkungan, dalam
konteks ini sang ibu, telah gagal dalam menanamkan superego ke dalam diri buah hatinya. Realita
ini selaras dengan konsepsi malfungsi superego, yang mana lingkungan dipandang sebagai
“tersangka” dalam kegagalan penanaman nilai-nilai yang semestinya. Sang ibu –
selaku satu-satunya oknum penanam nilai dalam kisah Putri- seharusnya
lebih tegas. Dia sepatutnya dapat menggunakan sistem reward-punishment dalam mendidik buah hatinya.
Seandainya langkah ini diambil, mungkin “pembelotan” ini tak terjadi di dalam
kehidupan Putri.
Sehingga dalam perkembangan perilaku selanjutnya, Putri pasti tidak akan merasa
bersalah jika ia melakukan sesuatu yang menyimpang. Benar saja, pada saat ia
bercerai dengan suaminya, Adi, ia merasa kehilangan sosok yang dapat memberikan
kasih sayang. Dikarenakan trauma tersebut ia merasa takut jika harus
berhubungan lagi dengan pria. Maka dari itu, sesuai dengan konsep plastisitas
naluri, Putri mengaliharahkan pemenuhannya akan kebutuhan afeksi kepada seorang
wanita bernama Nina. Disorientasi ini tidak dianggap sebagai suatu kejanggalan
apalagi sampai menimbulkan rasa bersalah dalam diri Putri dikarenakan malfungsi
darisuperegonya.
Dari kesingkronan kisah seorang Putri dengan konsepsi-konsepsi
teori psikoanalisa dapat disimpulkan bahwasanya teori ini bekerja secara valid
dalam menjelaskan sebab-musabab disorientasi seksual Putri. Di sini pembelokan
orientasi seksual dalam kisah hidup Putri bukanlah semata-mata “dosa” Putri
seorang tetapi juga “sumbangsih” lingkungan yang gagal dalam membentuk superego. Putri di
sini hanyalah seseorang yang ingin memenuhi kebutuhannya akan afeksi, sayangnya
pemenuhan tersebut tidak selaras dengan norma-norma yang berlaku.
Standing position peneliti dalam melihat kasus ini
adalah berpihak pada Putri. Putri tak lebih dari sekedar makhluk biologis yang
mencoba memenuhi kebutuhannya. Disorientasi dan perilaku Putri yang out of the track adalah kegagalan dari lingkungan.
Jadi, lingkunganlah yang menjadi troublemaker dalam
kasus ini.
TEORI BELAJAR BEHAVIORISME
Behaviorisme
adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan
oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat
diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi
yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau
mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang
diinginkan.
Pendidikan
behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan
dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli
yang menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku
yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.
Ciri
dari teori belajar behaviorisme adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian
kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan
pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan
mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang
diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut
pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.
Dalam
hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori
behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk
memahami materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau
situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai
pendidikannya sendiri.
Ada
beberapa tokoh teori belajar behaviorisme. Tokoh-tokoh aliran behavioristik
tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan
Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan
analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
1. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah
laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,
atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme
sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut
pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada
tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2)
hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
2. Teori Belajar Menurut Watson
Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur.
3. Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark
Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah
laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup.
Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi
sentral
dalam
seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku
juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell,
Gredler, 1991).
4.
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas
belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran
utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari.
Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan
oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
5. Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep
yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun
lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang
terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan
perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh
sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu,
karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu
dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon
tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Aliran
psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai
hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi
teori belajar behaviorisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa
hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar
atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid.
Metode
behaviorisme ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan,
spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya:
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih
anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi
dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung seperti diberi permen atau pujian.
Contoh Kasus : Jono baru saja
beranjak dari SMP menuju SMA. Ia masuk ke SMA yang terkenal sebagai SMA yang
dihuni oleh orang-orang kelas atas. Padahal ia berasal dari keluarga yang
tergolong menengah kebawah. Awalnya orang tua Jono tidak memperbolehkan Jono
masuk kesekolah tersebut karena takut Jono terpengaruh gaya hidup mereka. Namun
paksaan Jono yang yang sedemikian rupa membuat orang tuanya luluh juga.
Setelah
beberapa lama berada disekolah itu, Jono seperti mengalami diskriminasi karena
ia tidak pernah mau untuk ikut bermain dengan teman-temannya saat ia diajak.
Sedikit demi sedikit, Ia mulai merasa dikucilkan. Awalnya, ia tidak
terpengaruh. Namun lama kelamaan, ia mulai merasa kesepian. Bahkan,
teman-temannya senang sekali mengerjai Jono. Perilaku teman-temannya mulai
membuat Jono tidak fokus. Prestasi belajar mulai menurun. Ini membuat Jono
selalu stress.
Keadaan
seperti ini mulai mengubah Jono. Jono yang selama ini selalu rendah hati mulai
merasa harus seperti teman-temannya. Akhirnya muncul juga keinginan untuk
bermain dengan teman-teman. Ia mencuri uang orang tuanya untuk bisa
berpenampilan seperti teman-temannya. Keadaan hidup seperti ini membuat ia tak
nyaman. Ia ingin sekali tidak seperti ini, namun itu hanya tinggal keinginan
saja. Ketakutan akan dikucilkan membuat ia tetap menjalankan kebiasaan buruk ini.
TEORI
HUMANISTIK
Pengertian
Humanisme
Dalam
teori humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia.
Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana dirinya untuk melakukan hal-hal
yang positif. Kemampuan positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan
para pendidik yang beraliran humanisme biasanya menfokuskan pengajarannya pada
pembangunan kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebut erat kaitannya
dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi
merupakan karateristik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik
beraliran humanisme. Dalam teori pembelajaran humanistik, belajar merupakan
proses yang dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia.
Dimana memanusiakan manusia di sini berarti mempunyai tujuan untuk mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar
secara optimal.
Ciri-ciri
Teori Humanisme
Pendekatan
humanisme dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan
yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang
mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan
interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk
memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan
atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam
pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Dalam
teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika siswa memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik
adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu
masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang
unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Ada
salah satu ide penting dalam teori belajar humanisme yaitu siswa harus mampu
untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga
siswa mengetahui apa yang dipelajarinya serta tahu seberapa besar siswa
tersebut dapat memahaminya. Dan juga siswa dapat mengetahui mana, kapan, dan
bagaimana mereka akan belajar. Dengan demikian maka siswa diharapkan mendapat
manfaat dan kegunaan dari hasil belajar bagi dirinya sendiri. Aliran humanisme
memandang belajar sebagai sebuah proses yang terjadi dalam individu yang
meliputi bagian/domain yang ada yaitu dapat meliputi domain kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
Dengan
kata lain, pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan,
komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu,
metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai
kemanusiaan siswa. Sehingga para pendidik/guru diharapkan dalam pembelajaran
lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan,
kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran
sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan
tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.
Tokoh
Humanisme
Ada
beberapa pendapat para ahli mengenai teori belajar huamanisme yaitu diantaranya
:
1.
Arthur Combs (1912-1999)
Arthur
Combs bersama dengan Donald Syngg menyatakan bahwa belajar terjadi apabila
mempunyai arti bagi individu tersebut. Artinya bahwa dalam kegiatan
pembelajaran guru tidak boleh memaksakan materi yang tidak disukai oleh siswa.
Sehingga siswa belajar sesuai dengan apa yang diinginkan tanpa adanya paksaan
sedikit pun. Sebenarnya hal tersebut terjadi tak lain hanyalah dari
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesautu yang tidak akan memberikan
kepuasan bagi dirinya.
Sehingga
guru harus lebih memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi
siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha
merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan
seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan
dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun
dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi
pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa diri siswa untuk
memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan
menghubungkannya dengan kehidupannya.
2.
Maslow
Teori
Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal : suatu
usaha yang positif untuk berkembang; kekuatan untuk melawan atau menolak
perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang
mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau
berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah
ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan
untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua
kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu
juga ia dapat menerima diri sendiri. Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs)
manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan
pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan
yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting
yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau
kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
3.
Carl Roger
Seorang
psikolog humanism yang menekankan perlunya sikap salaing menghargai dan tanpa
prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalahkehidupannya.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran.
Ada
beberapa Asumsi dasar teori Rogers adalah: Kecenderungan formatif; Segala hal
di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih
kecil; Kecenderungan aktualisasi; Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk
bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap
individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.
4.
Aplikasi dan Implikasi Humanisme
Guru
Sebagai Fasilitator
Psikologi
humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator :
1. Fasilitator
sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok,
atau pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu
untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan
juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.Dia mempercayai
adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang
bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam
belajar yang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan
sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa
untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan
dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan
oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi
ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat
intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara
yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca
penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan
sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan
turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang
lain.
8. Dia mengambil
prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya
dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil
secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
Aplikasi
Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa
berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman
belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan
potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif.
Pembelajaran
berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan
sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan
aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan
terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa
diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat
orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa
mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau
etika yang berlaku.
ERICH
FROMM
Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman
pada tanggal 23 Maret 1900. Ia belajar psikologi dan sosiologi di University
Heidelberg, Frankfurt, dan Munich. Setelah memperoleh gelar Ph.D dari Heidelberg tahun
1922, ia belajar psikoanalisis di Munich dan
pada Institut psikoanalisis Berlin yang terkenal waktu itu.
Tahun 1933 ia pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di Institut
psikoanalisis Chicago dan melakukan praktik privat di New
York City. Ia pernah mengajar pada sejumlah universitas dan institut di
negara ini dan di Meksiko. Terakhir, Fromm tinggal di Swiss dan meninggal di Muralto,
Swiss pada tanggal 18 Maret 1980.
Fromm sangat dipengaruhi oleh
tulisan-tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The
economic philosophical manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Tema
dasar ulisan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena ia
dipisahkan dri alam dan orang-orang lain. Kedaan isolasi ini tidak ditemukan
dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Berikut ini kita
akan mengulas lebih dalam mengenai teori-teori Fromm.
TEORI KEPRIBADIAN ERICH FROMM
Sebelum mengulas tentang teori kepribadian
dari Fromm, beberapa pengalaman mempengaruhi pandangan Fromm, antara lain pada
umur 12 tahun ia menyaksikan seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat
keluarganya, bunuh diri. Fromm sangat terguncang karena kejadian itu. Tidak ada
seorang yang memahami mengapa wanita tersebut memilih bunuh diri. Ia juga
mengalami sebagai anak dari orangtua yang neurotis. Ia hidup dalam satu rumah
tangga yang penuh ketegangan. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram.
Ibunya mudah menderita depresi hebat. Tampak bahwa Fromm tidak dikelilingi
pribadi-pribadi yang sehat. Karena itu, masa kanak-kanaknya merupakan suatu
laboratorium yang hidup bagi observasi terhadap tingkah laku neurotis.
Peristiwa ketiga adalah pada umur 14 tahun Fromm melihat irrasionalitas melanda
tanah airnya, Jerman, tepatnya ketika pecah perang dunia pertama. Dia
menyaksikan bahwa orang Jerman terperosok ke dalam suatu fanatisme sempit dan
histeris dan tergila-gila. Teman-teman dan kenalan-kenalannya terpengaruh.
Seorang guru yang sangat ia kagumi menjadi seorang fanatik yang haus darah.
Banyak saudara dan teman-temannya yang meninggal di parit-parit perlindungan. Ia
heran mengapa orang yang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi gila. Dari
pengalaman-pengalaman yang membingungkan ini, Fromm mengembangkan keinginan
untuk memahami kodrat dan sumber tingkah laku irasional. Dia menduga hal itu
adalah pengaruh dari kekuatan sosio-ekonomis, politis, dan historis secara
besar-besaran yang mempengaruhi kodrat kepribadian manusia.
Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan Karl
Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The Economic and
Philosophical Manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Fromm
membandingkan ide-ide Freud dan Marx, menyelidiki kontradiksi-kontradiksinya
dan melakukan percobaan yang sintesis. Fromm memandang Marx sebagai pemikir
yang lebih ulung daripada Freud dan menggunakan psikoanalisa, terutama untuk
mengisi celah-celah pemikiran Marx. Pada tahun 1959, Fromm menulis analisis
yang sangat kritis bahkan polemis tentang kepribadian Freud dan pengaruhnya,
sebaliknya berbeda sekali dengan kata-kata pujian yang diberikan kepada Marx
pada tahun 1961. Meskipun Fromm deapat disebut sebagai seorang teoritikus
kepribadian Marxian, ia sendiri lebih suka disebut humanis dialetik.
Tulisan-tulisan Fromm dipengaruhi oleh pengetahuannya yang luas tentang
sejarah, sosiologi, kesusastraan, dan filsafat.
Tema dasar dari dasar semua tulisan Fromm
adalah individu yang merasa kesepian dan terisolir karena ia dipisahkan dari
alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua
spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Dalam bukunya Escape from
Freedom (1941), ia mengembangkan tesis bahwa manusia menjadi semakin bebas dari
abad ke abad, maka mereka juga makin merasa kesepian (being lonely). Jadi,
kebebasan menjadi keadaan yang negatif dari mana manusia melarikan diri. Dan
jawaban dari kebebasan yang pertama adalah semangat cinta dan kerjasama yang
menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik, yang kedua
adalah manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa yang kemudian dapat
menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Dalam buku-buku Fromm berikutnya (1947,
1955, 1964), dikatakan bahwa setiap masyarakat yang telah diciptakan manusia,
entah itu berupa feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme,
semuanya menunjukkan usaha manusia untuk memecahkan kontradiksi dasar manusia.
Kontradiksi yang dimaksud adalah seorang pribadi merupakan bagian tetapi
sekaligus terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus manusia. Sebagai
binatang, orang memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik tertentu yang harus
dipuaskan. Sebagai manusia, orang memiliki kesadaran diri, pikiran dan daya
khayal. Pengalaman-pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut,
cinta, perasaan kasihan, sikap-sikap perhatian, tanggung jawab, identitas,
intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta
norma-norma. Kemudian teori Erich Fromm mengenai watak masyarakat mengakui
asumsi transmisi kebudayaan dalam hal membentuk kepribadian tipikal atau
kepribadian kolektif. Namun Fromm juga mencoba menjelaskan fungsi-fungsi sosio-historik
dari tipe kepribadian tersebut yang menghubungkan kebudayaan tipikal dari suatu
kebudayaan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk merumuskan hubungan
tersebut secara efektif, suatu masyarakat perlu menerjemahkannya ke dalam
unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia
melaksanakan apa yang harus dilakukan.
Fromm membagi sistem struktur masyarakat
menjadi tiga bagian berdasarkan karakter sosialnya:
1. Sistem A, yaitu masyarakat-masyarakat
pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga
kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem
masyarakat seperti ini, kedestruktifan dan kekejaman sangat jarang terjadi,
tidak didapati hukuman fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur
sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai.
2. Sistem B, yaitu masyarakat
non-destruktif-agresif. Masyarakat ini memiliki unsur dasar tidak destruktif,
meski bukan hal yang utama, masyarakat ini memandang keagresifam dan kedestruktifan
adalah hal biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang lazim ditemui.
Masyarakat ini tidak memiliki kelemah-lembutan, dan saling percaya.
3. Sistem C, yaitu masyarakat destruktif.
Karakter sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan
dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering
terhadi persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi
berupa mengunggulkan simbol.
Fromm juga menyebutkan dan menjelaskan
lima tipe karakter sosial yang ditemukan dalam masyarakat dewasa ini, yakni:
1. Tipe Reseptif (mengharapkan dukungan dari pihak luar)
2. Tipe Eksploitasi (memaksa orang lain untuk mengikuti keinginannya)
3. Tipe Penimbunan (suka mengumpulkan dan menimbun barang suatu materi)
4. Tipe Pemasaran (suka menawarkan dan menjual barang)
5. Tipe Produktif (karakter yang kreatif dan selalu berusaha untuk
menggunakan barang-barang untuk suatu kemajuan)
6. Tipe Nekrofilus-biofilus (nekrofilus orang yang tertarik dengan
kematian, biofilus:orang yang mencintai kehidupan)
Fromm juga mengemukakan bahwa bila
masyarakat berubah secara mendasar, sebagaimana terjadi ketika feodalisme
berubah menjadi kapitalisme atau ketika sistem pabrik menggeser tenaga tukang,
perubahan semacam itu akan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam karakter
sosial manusia. Persoalan hubungan seseorang dengan masyarakat merupakan
keprihatinan besar Fromm. Menurut Fromm ada validitas proposisi-proposisi
berikut:
1) Manusia mempunyai kodrat esensial bawaan,
2) Masyarakat diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kodrat esensial ini,
3) Tidak satu pun bentuk masyarakat yang pernah diciptakan berhasil
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar eksistensi manusia, dan
4) Eksistensi manusia adalah mungkin menciptakan masyarakat semacam itu.
Kemudian Fromm mengemukakan tentang
masyarakat yang seharusnya yaitu dimana manusia berhubungan satu sama lain
dengan penuh cinta, dimana ia berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan
solidaritas, suatu masyarakat yang memberinya kemungkinan untuk mengatasi
kodratnya dengan menciptakannya bukan dengan membinasakannya, dimana setiap
orang mencapai pengertian tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek
dari kemampuan-kemampuannya bukan dengan konformitas, dimana terdapat suatu
sistem orientasi dan devosi tanpa orang perlu mengubah kenyataan dan memuja
berhala. Bahkan Fromm mebgusulkan suatu nama untuk masyarakat yang sempurna
tersebut yaitu Sosialisme Komunitarian Humanistik. Dalam masyarakat semacam
itu, setiap orang akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi mansiawi
sepenuhnya.
KONDISI EKSISTENSI MANUSIA
Dilema Eksistensi
Menurut Fromm, hakekat manusia juga
bersifat dualistik. Paling tidak ada empat dualistik di dalam diri manusia:
a. Manusia sebagai binatang dan sebagai
manusia
Manusia sebagai binatang memiliki banyak
kebutuhan fisiologik yang harus dipuaskan, seperti kebutuhan makan, minum, dan
kebutuhan seksual. Manusia sebagai manusia memiliki kebutuhan kesadaran diri,
berfikir, dan berimajinasi. Kebutuhan manusia itu terwujud dalam pengalaman
khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian,
tanggung jawab, identitas, intergritas, sedih, transendensi, kebebasan, nilai,
dan norma.
b. Hidup dan mati
Kesadaran diri dan fikiran manusia telah
mengetahui bahwa dia akan mati, tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan
meyakini adanya kehidupan sesudah mati, dan usaha-usaha yang tidak sesuai
dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir dengan kematian.
c. Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan
Manusia mampu mengkonsepkan realisasi-diri
yang sempurna, tetapi karena hidup itu pendek kesempurnaan tidak dapat dicapai.
Ada orang berusaha memecahkan dikotomi ini melalui mengisi rentang sejarah
hidupnya dengan prestasi di bidang kemanusiaan, dan ada pula yang meyakini
dalil kelanjutan perkembangannya sesudah mati.
d. Kesendirian dan kebersamaan
Manusia adalah pribadi yang mandiri,
sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari
diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari
kalau kebahagiaannya tergantung kepada kebersamaan dengan orang lain. Dilema
ini tidak pernah terselesaikan, namun orang harus berusaha menjembatani dualism
ini, agar tidak menjadi gila. Dualisme-dualisme itu, aspek binatang dan
manusia, kehidupan dan kematian, ketidaksempurnaan dan kesempurnaan,
kesendirian dan kebersamaan, merupakan kondisi dasar eksistensi manusia.
Pemahaman tentang jiwa manusia harus berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan
manusia yang berasal dari kondisi-kondisi eksistensi manusia.
KEBUTUHAN MANUSIA
Umumnya kata “kebutuhan” diartikan sebagai
kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan
dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari rasa sakit.
Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensinya sebagai
manusia, menurut Fromm meliputi dua kelompok kebutuhan; pertama kebutuhan untuk
menjadi bagian dari sesuatu dan menjadi otonom, yang terdiri dari kebutuhan
Relatedness, Rootedness, Transcendence, Unity, dan Identity. Kedua, kebutuhan
memahami dunia, mempunyai tujuan dan memanfaatkan sifat unik manusia, yang
terdiri dari kebutuhan Frame of orientation, frame of devotion,
Excitation-stimulation, dan Effectiveness.
Kebutuhan Kebebasan dan Keterikatan
1. Keterhubungan (relatedness): Kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian
dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung
dengan makhluk lain yang dicintai,menjadi bagian dari sesuatu. Keinginan
irasional untuk mempertahankan hubungan yang pertama, yakni hubungan dengan
ibu, kemudian diwujudkan ke dalam perasaan solidaritas dengan orang lain.
Hubungan paling memuaskan bisa positif yakni hubungan yang didasarkan pada
cinta, perhatian, tanggung jawab, penghargaan, dan pengertian dari orang
lain,bisa negatif yakni hubungan yang didasarkan pada kepatuhan atau kekuasaan.
2. Keberakaran (rootedness): Kebutuhan keberakaran adalah kebutuhan untuk
memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya merasa nyaman di dunia (merasa seperti
di rumahnya). Manusia menjadi asing dengan dunianya karena dua alasan yaitu:
· Dia direnggut dari akar-akar hubungannya oleh situasi (ketika manusia
dilahirkan, dia menjadi sendirian dan kehilangan ikatan alaminya)
· Fikiran dan kebebasan yang dikemangkannya sendiri justru memutus ikatan
alami dan menimbulkan perasaan isolasi/tak berdaya.
Keberakaran adalah kebutuhan untuk
mengikat diri dengan kehidupan. Setiap saat orang dihadapkan dengan dunia baru,
dimana dia harus tetap aktif dan kreatif mengembangkan perasaan menjadi bagian
yang integral dari dunia. Dengan demikian dia akan tetap merasa aman, tidak
cemas, berada di tengah-tengah duania yang penuh ancaman. Orang dapat membuat
ikatan fiksasi yang tidak sehat, yakni mengidentifikasikan diri dengan satu
situasi, dan tidak mau bergerak maju untuk membuat ikata baru dengan dunia
baru.
3. Menjadi pencipta (transcendency): Karena individu menyadari dirinya
sendiri dari lingkungannya, mereka kemudian mengenali betapa kuat dan
menakutkan alam semesta itu, yang membuatnya meras tak berdaya. Orang ingin
mengatasi perasaan takut dan ketidakpastian menghadapi kemarahan dan
ketakmenentuan semesta. Orang membutuhkan peningkatan diri, berjuang untuk
mengatasi sifat fasif dikuasai alam menjadi aktif, bertujuan dan bebas, berubah
dari makhluk ciptaan menjadi pencipta. Seperti menjadi keterhubungan, transendensi
bisa positif (menciptakan sesuatu) atau negatif (menghancurkan sesuatu).
4. Kesatuan (unity): Kebutuhan untuk mengatasi eksistensi keterpisahan
antara hakikat binatang dan non binatang dalam diri seseorang. Keterpisahan,
kesepian, dan isolasi semuanya bersumber dari kemandirian dan kemerdekaan
“untuk apa orang mengejar kemandirian dan kemerdekaan kalau hasilnya justru
kesepian dan isolasi?” dari dilema ini muncul kebutuhan unitas. Orang dapat
mencapai unitas, memperoleh kepuasan (tanpa menyakiti orang lain dan diri
sendiri) kalau hakikat kebinatangan dan kemanusiaan itu bisa didamaikan, dan
hanya dengan berusaha untuk menjadi manusia seutuhnya melalui berbagi cinta dan
kerjasama dengan orang lain.
5. Identitas (identity): Kebutuhan untuk menjadi “aku”, kebutuhan untuk
sadar dengan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang terpisah. Manusia harus
merasakan dapat mengontrol nasibnya sendiri, harus bisa membuat keputusan, dan
merasa bahwa hidupnya nyata-nyata miliknya sendiri. Misalnya orang primitif
mengidentifikasikan diri dengan sukunya, dan tidak melihat dirinya sendiri
sebagai bagian yang terpisah dari kelompoknya.
Kebutuhan untuk memahami dan beraktivitas
1) Kerangka orientasi (frame of orientaion): Orang membutuhkan peta
mengenai dunia sosial dan dunia alaminya; tanpa peta itu dia akan bingung dan
tidak mampu bertingkah laku yang ajeg-mempribadi. Manusia selalu dihadapkan
dengan fenomena alam yang membingungkan dan realitas yang menakutkan, mereka
membutuhkan hidupnya menjadi bermakna. Dia berkeinginan untuk dapat meramalkan
kompleksitas eksistensi. Kerangka orientasi adalah seperangkat keyakinan
mengenai eksistensi hidup, perjalanan hidup-tingkah laku bagaimana yang harus
dikerjakannya, yang mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.
2) Kerangka kesetiaan (frame of devotion): Kebutuhan untuk memiliki tujuan
hidup yang mutlak. Orang membutuhkan sesuatu yang dapat menerima seluruh
pengabdian hidupnya, sesuatu yang membuat hidupnya menjadi bermakna. Kerangka
pengabdian adalah peta yang mengarahkan pencarian makna hidup, menjadi dasar
dari nilai-nilai dan titik puncak dari semua perjuangan.
3) Keterangsangan- stimulasi (excitation-stimulation): Kebutuhan untuk
melatih sistem syaraf, untuk memanfaatkan kemampuan otak. Manusia membutuhkan
bukan sekedar stimulus sederhana (misalnya: makanan), tetapi stimuli yang
mengaktifkan jiwa (misalnya: puisi atau hukm fisika). Stimuli yang tidak cukup
direaksi saat itu, tetapi harus direspon secara aktif, produktif, dan
berkelanjutan.
4) Keefektivan (effectivity): Kebutuhan untuk menyadari eksistensi diri
melawan perasaan tidak mampu dan melatih kompetensi/kemampuan.
MEKANISME MELARIKAN DIRI DARI KEBEBASAN
Masyarakat kapitalis kontemporer
menempatkan orang sebagai korban dari pekerjaan mereka sendiri. Konflik antara
kecenderungan mandiri dengan ketidakberjayaan dapat merusak kesehatan mental.
Menurut Fromm, ciri orang normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang
mampu bekerja produktif sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus
mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang penuh cinta. Menurut Fromm,
normalitas adalah keadaan optimal dari pertumbuhan (kemandirian) dan
kebahagiaan (kebersamaan) dari individu. Pada dasarnya ada dua cara untuk
memperoleh makna dan kebersamaan dalam kehidupan diantaranya:
1. Mencapai kebebasan positif yakni berusaha menyatu dengan orang lain,
tanpa mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi. Ini adalah pendekatan
optimistik dan altruistik, yang menghubungkan diri dengan orang lain melalui
kerja dan cinta, melalui ekspresi perasaan dan kemampuan intelektual yang tulus
dan terbuka. Oleh Fromm disebut pendekatan humanistik, yang membuat orang tidak
merasa kesepian dan tertekan, karena semua menjadi saudara dari yang lain.
2. Memperoleh rasa aman denagn meninggalkan kebebasan dan menyerahkan
bulat-bulat individualitas dan intehritas diri kepada sesuatu (bisa orang atau
lembaga) yang dapat memberi rasa aman. Solusi semacam ini dapat menghilangkan
kecemasan karena kesendirian dan ketidakberdayaan, namun menjadi negatif karena
tidak mengizinkan orang mengekspresikan diri, dan mengembangkan diri. Cara
memperoleh rasa aman dengan berlindung di bawah kekuatan lain disebut Fromm
mekanisme pelarian. Mekanisme pelarian sepanjang dipakai sekali waktu, adalah
dorongan yang normal pada semua orang, baik individual maupun kolektif. Ada
tiga mekanisme pelarian yang terpenting, yakni otoritarianisme, destruktif, dan
konfomitas.
a. Otoritarianisme (authoritarianism)
Kecenderungan untuk menyerahkan
kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar
dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang dirasakan tidak dimilikinya. Kebutuhan
untuk menggabung dengan partner yang memiliki kekuatan bisa merupakan masokisme
dan sadisme. Masokisme merupakan hasil dari perasaan dasar tidak beraya, lemah,
inferior yang dibawa, sehingga kekuatan itu tertuju atau menindas dirinya.
Masokisme merupakan bentuk tersembunyi dari perjuangan memperoleh cinta dan
kesetiaan, tetapi tidak memberi sumbangan positif kekemandirian. Sedangkan
sadisme dipakai untuk meredakan kecemasan dasar melalui penyatuan diri dengan
orang lain atau institusi. Sadisme juga merupakan bentuk neurotik yang lebih
parah dan lebih berbahaya (karena mengacam orang lain) dibanding masokisme.
b. Perusakan (destruktiveness)
Destruktif berakar pada perasaan kesepian,
isolasi, dan tak berdaya. Destruktif mencari kekuatan tidak melalui membangun
hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas/merusak kekuatan
orang lain, individu, bahkan negara dapat memakai strstegi destruktif , merusak
orang atau obyek, dalam rangka memperoleh perasaan kuat yang hilang.
c. Penyesuaian (conformity)
Bentuk pelarian dari perasaan kesepian
dari isolasi berupa penyerahan individualitas dan menjadi apa saja seperti yang
diinginkan kekuatan dari luar. Orang menjadi robot, mereaksi sesuatu persis
seperti yang direncanakan dan mekanis menuruti kemauan orang lain.
Contoh Kasus:
Saat ini mestinya adalah waktu yang tepat
bagi para ahli beragam profesi, apakah itu psikolog, psikiater, sosiolog,
novelis, ataupun ahli hukum, untuk mengabadikan pandangan-pandangan maupun
imajinasinya mengenai sadisme alias kebrutalan di sekitar kita dalam bentuk
buku.
Betapa tidak? Hanya dalam rentang waktu
beberapa bulan, kita disuguhi beragam laporan berita yang mengerikan. Ada
seorang suami (Hermanto) membunuh istrinya sendiri, Aisyah Susan Sieh, secara
sadis di Jakarta, Juni lalu. Masih di Jakarta, seorang petugas keamanan, Nendi
Suhendi, membunuh mantan pejabat Departemen Keuangan, Hamonangan Hutabarat
(70), berikut istri dan pembantu perempuannya.
Di Surabaya, Yanuar Stefanus (37), seorang
laki-laki keturunan Tionghoa, menggorok istri dan kedua anaknya yang masih
balita hingga tewas, sebelum membunuh diri dengan pisau mautnya itu (Suara
Merdeka, 26/09/2008). Masih banyak lagi kasus pembunuhan sadis lainnya. Di
antara semua itu, kasus Ryan kiranya paling menggegerkan. Dalam kurun waktu
setahun, lelaki kemayu asal Jombang, Jawa Timur, ini setidaknya telah membunuh
11 orang secara berantai di Jakarta dan Jombang. Sekarang kasusnya masih dalam
proses penyelidikan aparat kepolisian di DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Banyak orang bertanya, fenomena apa ini?
Laporan-laporan menunjukkan, umumnya pembunuhan itu bermotif uang atau harta.
Persoalannya, mengapa manusia bisa begitu jahat dan sangat brutal? Pertanyaan
ini sudah lama menjadi kajian menarik, termasuk para sineas yang mengangkatnya
dalam cerita-cerita film.
Dalam film The Good Man, misalnya,
sutradara Joseph Ruben mencoba mengemas cerita seorang anak berwajah polos yang
mempunyai karakter sadis. Dalam film garapan itu dilukiskan, iblis bisa
menjelma menjadi apa saja, termasuk menjadi seorang bocah. Dilukiskan, bocah
bernama Henry (diperankan Macaulay Culkin) itu tidak hanya tega membunuh
seorang temannya, berusaha menghabisi sepupunya dan beberapa teman lainnya,
tetapi juga mengincar nyawa ibunya, Susan. Henry akhirnya mati di jurang saat
akan membunuh Mark sepupunya.
Dalam Encyclopedia of Murder (1961), kita
bisa menemukan ratusan kasus pembunuhan sadistis, khususnya di AS dan Eropa,
namun tak ada pembahasan tentang sebab-musababnya. Di antara kasus itu
pelakunya adalah orang militer aktif maupun pensiunan. Korbannya ada yang
mencapai puluhan orang.
Sebagian kasus lainnya dikategorikan
rumit, sehingga tidak terungkap meski polisi telah memburunya selama
bertahun-tahun. Salah satu kasus terbesar adalah The Thames Nude Murders di
London, antara Juni 1959 hingga Februari 1965. Pembunuhnya dikenal dengan
julukan Jack the Stripper, dan korbannya kebanyakan pelacur. Rumor yang beredar
sempat menuduh mantan petinju Freddie Mills, yang kemudian mati. Tetapi sang
pembunuh berantai itu tetap misteri hingga kini, begitu ditulis dalam buku The
Book of Lists 2 karya Irving Wallace dkk.
Dari buku-buku sejarah kita juga tahu
betapa pembunuh berdarah dingin, baik yang berlatar belakang masalah pribadi,
dendam kesumat pribadi, kelompok, maupun politik, bisa menggunakan kedok bermacam-macam
termasuk agama. Papa Doc Duvalier, penguasa Haiti 1950-an hingga awal 1970-an,
dilukiskan sebagai dokter yang suka mengenakan jubah pendeta, berkomat-kamit
dengan rosario di tangan, dan mengutip Injil. Tetapi tak terhitung berapa
rakyat Haiti yang mati bersimbah darah karena perintah Papa Doc, yang kemudian
digantikan anaknya, Baby Doc Duvalier.
TEORI
ABRAHAM MASLOW
Abraham
Maslow mengembangkan teori kepribadian yang telah mempengaruhi sejumlah bidang
yang berbeda, termasuk pendidikan. Ini pengaruh luas karena sebagian tingginya
tingkat kepraktisan’s teori Maslow. Teori ini akurat menggambarkan realitas
banyak dari pengalaman pribadi. Banyak orang menemukan bahwa mereka bisa
memahami apa kata Maslow. Mereka dapat mengenali beberapa fitur dari pengalaman
mereka atau perilaku yang benar dan dapat diidentifikasi tetapi mereka tidak
pernah dimasukkan ke dalam kata-kata.
Maslow
adalah seorang psikolog humanistik. Humanis tidak percaya bahwa manusia yang
mendorong dan ditarik oleh kekuatan mekanik, salah satu dari rangsangan dan
bala bantuan (behaviorisme) atau impuls naluriah sadar (psikoanalisis). Humanis
berfokus pada potensi. Mereka percaya bahwa manusia berusaha untuk tingkat atas
kemampuan. Manusia mencari batas-batas kreativitas, tertinggi mencapai
kesadaran dan kebijaksanaan. Ini telah diberi label “berfungsi penuh orang”,
“kepribadian sehat”, atau sebagai Maslow menyebut tingkat ini,
“orang-aktualisasi diri.”
Maslow
telah membentuk sebuah hirarki dari lima tingkat kebutuhan dasar. Di luar kebutuhan
tersebut, kebutuhan tingkat yang lebih tinggi ada. Ini termasuk kebutuhan untuk
memahami, apresiasi estetik dan spiritual kebutuhan murni. Dalam tingkat dari
lima kebutuhan dasar, orang tidak merasa perlu kedua hingga tuntutan pertama
telah puas, maupun ketiga sampai kedua telah puas, dan sebagainya. Kebutuhan
dasar Maslow adalah sebagai berikut:
Teori
Kebutuhan Maslow
1. Kebutuhan Fisiologis
Ini adalah kebutuhan
biologis. Mereka terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan suhu tubuh
relatif konstan. Mereka adalah kebutuhan kuat karena jika seseorang tidak
diberi semua kebutuhan, fisiologis yang akan datang pertama dalam pencarian
seseorang untuk kepuasan.
2. Kebutuhan Keamanan
Ketika semua kebutuhan
fisiologis puas dan tidak mengendalikan pikiran lagi dan perilaku, kebutuhan
keamanan dapat menjadi aktif. Orang dewasa memiliki sedikit kesadaran keamanan
mereka kebutuhan kecuali pada saat darurat atau periode disorganisasi dalam
struktur sosial (seperti kerusuhan luas). Anak-anak sering menampilkan
tanda-tanda rasa tidak aman dan perlu aman.
3. Kebutuhan Cinta, Sayang dan Kepemilikan
Ketika kebutuhan untuk
keselamatan dan kesejahteraan fisiologis puas, kelas berikutnya kebutuhan untuk
cinta, sayang dan kepemilikan dapat muncul. Maslow menyatakan bahwa orang
mencari untuk mengatasi perasaan kesepian dan keterasingan. Ini melibatkan
kedua dan menerima cinta, kasih sayang dan memberikan rasa memiliki.
4. Kebutuhan Esteem
Ketika tiga kelas
pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga bisa menjadi dominan. Ini
melibatkan kebutuhan baik harga diri dan untuk seseorang mendapat penghargaan
dari orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk tegas, berdasarkan, tingkat
tinggi stabil diri, dan rasa hormat dari orang lain. Ketika kebutuhan ini
terpenuhi, orang merasa percaya diri dan berharga sebagai orang di dunia.
Ketika kebutuhan frustrasi, orang merasa rendah, lemah, tak berdaya dan tidak
berharga.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Ketika semua kebutuhan
di atas terpenuhi, maka dan hanya maka adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri
diaktifkan. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang perlu untuk
menjadi dan melakukan apa yang orang itu “lahir untuk dilakukan.” “Seorang
musisi harus bermusik, seniman harus melukis, dan penyair harus menulis.” Kebutuhan
ini membuat diri mereka merasa dalam tanda-tanda kegelisahan. Orang itu merasa
di tepi, tegang, kurang sesuatu, singkatnya, gelisah. Jika seseorang lapar,
tidak aman, tidak dicintai atau diterima, atau kurang harga diri, sangat mudah
untuk mengetahui apa orang itu gelisah tentang. Hal ini tidak selalu jelas apa
yang seseorang ingin ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Teori hierarkhi
kebutuhan sering digambarkan sebagai piramida,
lebih besar tingkat bawah mewakili kebutuhan yang lebih rendah, dan
titik atas mewakili kebutuhan aktualisasi diri. Maslow percaya bahwa
satu-satunya alasan bahwa orang tidak akan bergerak dengan baik di arah
aktualisasi diri adalah karena kendala ditempatkan di jalan mereka oleh
masyarakat negara. Dia bahwa pendidikan merupakan salah satu kendala. Dia
merekomendasikan cara pendidikan dapat beralih dari orang biasa-pengerdilan
taktik untuk tumbuh pendekatan orang. Maslow menyatakan bahwa pendidik harus
menanggapi potensi individu telah untuk tumbuh menjadi orang-aktualisasi diri /
jenis-nya sendiri. Sepuluh poin yang pendidik harus alamat yang terdaftar:
Kita harus mengajar
orang untuk menjadi otentik, untuk menyadari diri batin mereka dan mendengar
perasaan mereka-suara batin.
Kita harus mengajar
orang untuk mengatasi pengkondisian budaya mereka dan menjadi warga negara
dunia.
Kita harus membantu
orang menemukan panggilan mereka dalam hidup, panggilan mereka, nasib atau
takdir. Hal ini terutama difokuskan pada menemukan karier yang tepat dan
pasangan yang tepat.
Kita harus mengajar
orang bahwa hidup ini berharga, bahwa ada sukacita yang harus dialami dalam
kehidupan, dan jika orang yang terbuka untuk melihat yang baik dan gembira
dalam semua jenis situasi, itu membuat hidup layak.
Kita harus menerima
orang seperti dia atau dia dan membantu orang belajar sifat batin mereka. Dari
pengetahuan yang sebenarnya bakat dan keterbatasan kita bisa tahu apa yang
harus membangun di atas, apa potensi yang benar-benar ada.
Kita harus melihat itu
kebutuhan dasar orang dipenuhi. Ini mencakup keselamatan, belongingness, dan
kebutuhan harga diri.
Kita harus refreshen
kesadaran, mengajar orang untuk menghargai keindahan dan hal-hal baik lainnya
di alam dan dalam hidup.
Kita harus mengajar
orang bahwa kontrol yang baik, dan lengkap meninggalkan yang buruk. Dibutuhkan
kontrol untuk meningkatkan kualitas hidup di semua daerah.
Kita harus mengajarkan
orang untuk mengatasi masalah sepele dan bergulat dengan masalah serius dalam
kehidupan. Ini termasuk masalah ketidakadilan, rasa sakit, penderitaan, dan
kematian.
Kita harus mengajar
orang untuk menjadi pemilih yang baik. Mereka harus diberi latihan dalam
membuat pilihan yang baik.
Contoh
Kasus :
Pengabdian
Yang Berujung PHK,
Kasus
PHK Karyawan Securicor (238 Orang)
Setiap individu
memiliki kewajiban dan hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai manusia
yang dituntut untuk mengolah dan menata kehidupan yang bermartabat dan layak.
Maka dalam hal ini bahwa setiap individu untuk selalu menjalankan aktifitas
dengan bekerja pada berbagai sektor kehidupan, dan salah satunya adalah bekerja
sebagai karyawan buruh.
Menjadi persoalan besar
pada kondisi negara kita yang kini terpuruk, di tengah-tengah krisis ekonomi
yang semakin sulit, pengangguran dimana-mana, sulitnya lapangan kerja lebih
diperparah lagi dengan menjamurnya pemutusan hubungan kerja dan
kebijakan-kebijakan yang sering kali bertentangan dengan Undang-undang, masalah
ini telah menjadi budaya dikalangan Perusahaan. Menjadi fakta bagi karyawan
buruh securicor yang telah bekerja puluhan tahun menggantungkan nasibnya akan
tetapi telah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berawal pada tanggal 19
juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack dengan Securicor
International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger di tingkat
international, maka para karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat
Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna
untuk membicarakan status mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional
tersebut. Akan tetapi, pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi apapun, dan
justru karyawan PT. Securicor yang semakin bingung dengan status mereka. Bahwa
kemudian, Presiden Direktur PT Securicor Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman
bahwa PHK mulai terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi imbasnya,
yang lebih ironisnya adalah Ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya di
PHK karena alasan perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat
internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah Branch Manager Surabaya.
Pada tanggal 8 Maret
2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan. Proses yang
dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti
di atur dalam UU tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu
melaporkan ke instansi (P4P). Akan tetapi pihak, PT. Securicor dan kuasa
hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu mengatakan tidak ada merger dan tidak ada
PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu pada hal tersebut
dengan ketidakjelasan status mereka maka karyawan PT. Securicor memberikan
surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan
instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya
perundingan tentang merger (deadlock).
Persoalan ini terus
bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor Indonesia
dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan
diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh
Fitrijansyah Toisutta akan tetapi kembali deadlock, sehingga permasalahan ini
ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P,
dan P4P mengeluarkan putusan dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.
Fakta
dari P4P
Agar pengusaha
PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan kembali pekerja Sdr. Denny
Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan semula di PT. Securicor
Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima anjuran ini;
Agar pengusaha
PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005 kepada pekerja sdr.
Denni Nurhendi, dkk (284) orang;
Agar pekerja sdr. Denni
Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk bekerja kembali pada pengusaha
PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat
anjuran ini;
Akan tetapi pihak
perusahaan tidak menerima isi putusan tersebut. Kemudian perusahaan melakukan
banding ke PT. TUN Jakarta dan melalui kuasa hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H.
memberikan kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk
kembali bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan
para pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap
mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya
rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa
para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan
kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat
secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan
menganggap para karyawan telah melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi.
Dan itu kebohongan besar. Sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta
pihak pengusaha untuk membayar pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK
massal dan ternyata perusahaan tidak merespon. Adapun terkait dengan aksi demo
yang dilakukan oleh para serikat pekerja adalah untuk meminta:
Dasar
Tuntutan
Bahwa pekerja tetap
tidak pernah minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK massal maka para
pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan normatif 5 kali sesuai dengan
pasal 156 ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003
Bahwa Penggugat
melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) UU No.
12 tahun 1964 karena penggugat mem-PHK pekerja tidak mengajukan ijin kepada P4
Pusat
PEMBAHASAN
KASUS:
Kasus
tersebut memiliki hubungan dengan teori kebutuhan Abraham Maslow dimana PHK itu
menyebabkan dampak psikologis bagi orang terPHK tersebut. Hal ini dapat dilihat
dimana karyawan yang di PHK tersebut akan sulit untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dari hierarki Maslow. Dimana tingkatan pertama dari
hierarki tersebut pun akan susah di penuhi olehnya karena ia telah menjadi
pengangguran. Selain itu, ia juga tidak akan dapat memenuhi kebutuhan ‘safety’
nya karena ia tidak dapat memenuhi kebutuhan mendasarnya. Hal ini akan
mengakibatkan ia tidak dapat menaiki tingkat kebutuhan Maslow yang lain.
TEORI
CARL ROGERS
Carl
Ransom Rogers lahir di Oak Park, Illinois, pada 8 Januari 1902. Pada umur 12
tahun keluarganya mengusahakan pertanian dan Rogers menjadi tertarik kepada
pertanian secara ilmiah. Pertanian ini membawanya ke perguruan tinggi, dan pada
tahun-tahun pertama Rogers sangat gemar akan ilmu alam dan ilmu hayat. Setelah
menyelesaikan pelajaran di University of Wisconsin pada 1924 Rogers masuk Union
Theological College of Columbia, disana Rogers mendapat pandangan yang liberal
dan filsafat mengenai agama.
Kemudian pindah ke Teachers College of
Columbia, disana Rogers terpengaruh oleh filsafat John Dewey serta mengenal
psikologi klinis dengan bimbingan L. Hollingworth. Rogers mendapat gelar M.A.
pada 1928 dan doctor pada 1931 di Columbia. Pengalaman praktisnya yang
pertama-tama diperolehnya di Institute for Child Guidance. Lembaga tersebut
orientasinya Freudian. Rogers menemukan bahwa pemikiran Freudian yang
spekulatif itu tidak cocok dengan pendidikan yang diterimanya yang mementingkan
statistik dan pemikiran menurut aliran Thorndike. Setelah mendapat gelar doktor
dalam psikologi Rogers menjadi staf pada Rochester Guidance Center dan kemudian
menjadi pemimpinnya. Selama masa ini Rogers dipengaruhi oleh Otto Rank, seorang
psychoanalyst yang memisahkan diri dari Freudian yang ortodok.
Pada
tahun 1940 Rogers menerima tawaran untuk menjadi guru besar psikologi di Ohio
State University. Perpindahan dari pekerjaan klinis ke suasana akademis ini
dirasa oleh Rogers sendiri sangat tajam. Karena rangsangannya Rogers merasa
terpaksa harus membuat pandangannya dalam psikoterapi itu menjadi jelas. Dan
ini dikerjakannya pada 1942 dalam buku Counseling and Psychotheraphy. Pada
tahun 1945 Rogers menjadi mahaguru psikologi di Universitas of Chicago, yang
dijabatnya hingga kini. Tahun 1946-1957 menjadi presiden the American
Psychological Association. Dan meninggal dunia tanggal 4 Februari 1987 karena
serangan jantung.
1.
Aktualisasi Diri
Rogers
terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran
fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis, ide-ide dan konsep
teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman-pengalaman terapeutiknya.
Ide pokok dari teori –
teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk
mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah–masalah psikisnya
asalkan konselor menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan
individu untuk aktualisasi diri.
Menurut
Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Jadi manusia yang
sadar dan rasional tidak lagi dikontrol oleh peristiwa kanak-kanak seperti yang
diajukan oleh aliran Freudian, misalnya toilet trainning, penyapihan ataupun
pengalaman seksual sebelumnya.
Rogers
lebih melihat pada masa sekarang, dia berpendapat bahwa masa lampau memang akan
mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang masa sekarang yang akan
mempengaruhi juga kepribadiannya. Namun ia tetap berfokus pada apa yang terjadi
sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu.
Aktualisasi
diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan
potensi -potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau
dihalangi oleh pengalaman dan oleh belajar khususnya dalam masa kanak-kanak.
Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang.
Ketika mencapai usia tertentu (adolensi) seseorang akan mengalami pergeseran
aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis.
Rogers
dikenal juga sebagai seorang fenomenologis, karena ia sangat menekankan pada
realitas yang berarti bagi individu. Realitas tiap orang akan berbeda–beda
tergantung pada pengalaman–pengalaman perseptualnya. Lapangan pengalaman ini
disebut dengan fenomenal field. Rogers menerima istilah self sebagai fakta dari
lapangan fenomenal tersebut.
2.
Perkembangan Kepribadian
Konsep
diri (self concept) menurut Rogers adalah bagian sadar dari ruang fenomenal
yang disadari dan disimbolisasikan, dimana “aku“ merupakan pusat referensi
setiap pengalaman. Konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu
yang secara perlahan dibedakan dan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang
diri yang mengatakan “apa dan siapa aku sebenarnya“ dan “apa yang sebenarnya
harus saya perbuat“. Jadi, self concept adalah kesadaran batin yang tetap,
mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang
bukan aku.
Konsep diri ini terbagi
menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal yaitu:
1.
Incongruence
Incongruence adalah
ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai
pertentangan dan kekacauan batin.
2.
Congruence
Congruence berarti
situasi dimana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep
diri yang utuh, integral, dan sejati.
Menurut
Rogers, para orang tua akan memacu adanya incongruence ini ketika mereka
memberikan kasih sayang yang kondisional kepada anak-anaknya. Orang tua akan
menerima anaknya hanya jika anak tersebut berperilaku sebagaimana mestinya,
anak tersebut akan mencegah perbuatan yang dipandang tidak bisa diterima.
Disisi lain, jika orang tua menunjukkan kasih sayang yang tidak kondisional,
maka si anak akan bisa mengembangkan congruence-nya. Remaja yang orang tuanya
memberikan rasa kasih sayang kondisional akan meneruskan kebiasaan ini dalam
masa remajanya untuk mengubah perbuatan agar dia bisa diterima di lingkungan.
Dampak
dari incongruence adalah Rogers berfikir bahwa manusia akan merasa gelisah
ketika konsep diri mereka terancam. Untuk melindungi diri mereka dari
kegelisahan tersebut, manusia akan mengubah perbuatannya sehingga mereka mampu
berpegang pada konsep diri mereka. Manusia dengan tingkat incongruence yang
lebih tinggi akan merasa sangat gelisah karena realitas selalu mengancam konsep
diri mereka secara terus menerus.
Contoh Kasus: Erin
yakin bahwa dia merupakan orang yang sangat dermawan, sekalipun dia seringkali
sangat pelit dengan uangnya dan biasanya hanya memberikan tips yang sedikit
atau bahkan tidak memberikan tips sama sekali saat di restoran. Ketika teman
makan malamnya memberikan komentar pada perilaku pemberian tipsnya, dia tetap
bersikukuh bahwa tips yang dia berikan itu sudah layak dibandingkan pelayanan
yang dia terima. Dengan memberikan atribusi perilaku pemberian tipsnya pada
pelayanan yang buruk, maka dia dapat terhindar dari kecemasan serta tetap
menjaga konsep dirinya yang katanya dermawan.
Referensi
:
Schultz Duane.1991.Psikologi Pertumbuhan.Yogyakarta:
Kanisius.
http://iesdepedia.com/blog/2013/01/15/605/
Koeswara, Endang. 1986. Teori-teori Kepribadian. Bandung :
Eresco.
Sulandari, Endah. 2009. Living as Lesbian in Indonesia :
Survival Strategies and Challenges in
Yogyakarta. Yogyakarta : Graduate School
Gadjah Mada University.
Wieringa,S.,Katjasungkana,N.,et.al. Membongkar Seksualitas
Perempuan yang Terbungkam. Jakarta : Kartini Network.2007.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/teori-belajar-humanisme-406226.html
http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme/
https://www.msu.edu/~purcelll/behaviorism%20theory.htm
http://www.scumdoctor.com/psychology/behaviorism/Theory-And-Definition-Of-Behaviorism.html
http://www.funderstanding.com/content/behaviorism
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
http://www.psychologymania.com/2010/05/erich-fromm-teori-psikologi-sosial.html
Hall, Calvin dan dkk. 1993. Teori-Teori Psikodinamik
(Klinis).Yogyakarta: Kanisius
Suryabarata, Sumadi.2007.Psikologi Kepribadian.Jakarta: Raja
Grafindo
http://belajarpsikologi.com/teori-hierarki-kebutuhan-maslow/
http://id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2183745-contoh-kasus-dalam-teori-behavioristik/#ixzz2Rr5FvqzY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar